Tulisan Kesenduan yang Bercanda dengan Kematian



Dingin. Beberapa detak lagi jarum jam akan terlihat seperti sepasang tubuh dalam sebuah pelukan. Saling himpit, satu tubuh menutup tubuh lainnya. Sebuah pelukan yang akan selalu kuingat. Dan, tak akan terhapus oleh musim mana pun. Sementara daun jendela kamar tua ini, masih sedikit terbuka. Belum sempat kututup rapat, karena malam ini, malam bulan mati. Malam yang selalu kutunggu, sebab aku bisa memandang langit yang tampak gelap. Segelap sebuah peristiwa yang selalu menusuk-tikam pikiranku. Angin dari luar kamar seperti tangan-tangan lembut yang mengantarkan sebuah kabar dari masa silam, yang kelam. Kabar tentang seorang perempuan yang mencoba menjerit. Tapi, siapa pun tak akan mampu mendengar suaranya. Hanya air matanya, terlihat seperti segar embun yang mulai membasahi dedaun malam hari, lalu, menetes pelan, sepelan napasnya.

Tapi, akan beda halnya ketika kutoleh ke ranjang di sisi selatan kamar ini: Cinta, masih terasa seperti api. Panas yang sudah sangat purba di tubuhku ini. Terkadang, tubuhku masih gemetar, mengingatnya. Setiap kali seperti itu, tiba-tiba keringat dingin selalu meleleh pelan di tubuhku. Keringat yang tak lagi panas seperti keringat seusai ciuman-ciuman hangat itu. Ciuman yang terakhir kali kurasakan, tepat tengah malam pada hari yang kulingkari dengan warna merah, di sebuah kalender tua di sebelah cermin yang terdapat retakan di tengahnya. Di cermin itu juga, ada bekas darah, merah, terseret sepanjang sekian senti. Cermin yang sudah lusuh oleh debu, tapi masih begitu jelas memantulkan semua masalaluku.

Setiap tahun, bertahun-tahun lamanya, tak sekali pun aku ingkar. Walau memori yang dulu kuat mengakar kini layaknya belukar. Menyiasati rasa, mengelabui akal. Lebat mengekal.

Waktu. Mungkin akan selalu jadi musuh kita bersama. Seberapa kuat kamu melolong minta tolong, pun seseram apa aku menyalak, dia tak kunjung geming.

Dimensi. Mungkin ia pun lelah merutuki kita yang tak kunjung peduli. Kita yang sibuk merentang renggangkan garisnya. Demi sebuah kecupan kecil. Kecupan kecil yang melontarkanku padamu dan kamu padaku dulu. Saat dimensi menjerit panik di antara riuhnya derit. Saat waktu menandak murka di antara lenguhanmu.

Reuni tahunan yang kunanti, demi merayakan ulang kemenangan kita, dulu, atas mereka. Merasa pernah menang membuatku gelisah. Kemenangan itu lalu jadi candu. Licik merayu. Padahal kita sama tahu, rentetan kekalahan yang harus kuteguki tetesnya menggurati tiap jengkal lidahku, menjorok sampai ke dalam pusat detakku, mengikisi setiap kapur belulangku. Tanpa henti, dalam congkak kekeh dan bahaknya, sampai Waktu sudah bosan mengolok-olokku.

Dingin. Beberapa detak lagi jarum jam akan terlihat seperti sepasang tubuh dalam sebuah pelukan…

***

Suatu pagi yang berkabut di luar jendela, juga kabut yang sama gelapnya, seperti di dalam kepala, membuat mataku yang baru saja terbuka tak lagi terasa berat seperti biasanya. Entah, mimpi semalam, menikam. Anak-anak kecil di dalam mimpi itu seolah kini ada di setiap sudut pagiku, di sisi-sisi pojok tatapanku. Dengan senyum kecil, tanpa kata, mereka seolah mengingatkanku perihal dosa-dosa. Sesekali beberapa di antara mereka menyalakan lilin, lalu terlihat mulai membakar bajunya sendiri. Tertawa, melihat tubuhnya perlahat tersulut api, lalu perlahan, menghitam. Ingin kutusuk mataku, yang meski kukatupkan, masih saja tampak jelas tubuh-tubuh kecil itu terbakar, tanpa teriakan. Sebuah pemandangan yang menjelma pisau berkarat, diseret-sayatkan di dalam kepalaku.

“Apakah pagi ini begitu menakutkan bagimu?” Tubuhku gemetar. “Bukankah birahi, desah-desah pasrah, lenguh-lenguh bercucur peluh, begitu nikmat kaurasakan?” Bulu-bulu lembut di tanganku, merinding. Bayangan dalam cermin di depanku terlihat berkata lembut, tapi begitu menggema di dalam jantungku.

Entah kenapa, dalam sehari itu, yang seharusnya menyenangkan untuk menikmati rokok dan kopi, justru membuatku terdiam. Pikiranku menyeretku ke sebuah lemari tua, yang lama tak terbuka. Pelan-pelan kuputar kunci, kuambil sebuah buku tua di dalamnya. Kubuka halaman demi halaman: almanak, perhitungan hari, perlengkapan ritual, dan berbagai mantra kuno yang tak jelas artinya. Satu lagi, sebuah keris dengan ukiran emas di tengahnya.

“Bulan mati ada di akhir pekan ini,” aku mulai gemetar.

***

Aku meletakkan telunjuk kanan pada bibirmu. Pekat bola matamu lekat. Waktu itu bulan hampir mati. Setengah mati seperti aku yang meraba paksa penanda, menyebut aneka kitab yang pernah kukenal, atau yang sekedar pernah kudengar sambil lalu. Semuanya, bungkam.

Ada sesuatu yang memintaku pergi sekaligus tinggal. Sesuatu yang lebih besar dari bulir-bulir peluhku yang turun dalam gegas. Sesuatu yang ingin dikenal, dan diakui. Sesuatu yang lelah menjadi sekedar desas desus murahan orang bertuhan. Sesuatu yang kamu embuskan di antara pagutmu. Satu-satu, lantas beranak pinak menandak-nandak.

Kengerian itu begitu kental. Tapi aku memutuskan untuk tinggal. Melihatmu mengambil rupa. Sama denganku. Hampir.

“Ritual ini belum selesai… “

Aku seolah mendengarmu berkata-kata. Kata-kata yang kau embuskan di antara kita yang asyik berpagut. Mataku berusaha menangkap bayang di cermin lemari. Mencarimu. Tapi malam demikian pekat. Hanya kelebat tubuh telanjangmu yang telentang, dan kabut dingin yang dibawahku, lebat dan setia. Menghalangi pandanganku dari cermin. Memaksaku percaya, bahwa ini semua nyata adanya. Persis seperti apa yang dijanjikan perhitungan almanak di dalam buku tua itu.

Kuambil keris berukiran emas di bawah bantalnya, tepat di saat kabut di atas tubuhku sedang pekat-pekatnya. Mengayun seiring derit. Setengah menjerit.

Pada erang pertama, ritual itu nyaris rampung, kabut yang lebat sontak porak poranda, terburai di seluruh penjuru kamar. Dingin. Mataku lekat pada cermin lemari. Nyalang mencari sosokmu. Tapi malam lebih cekatan menyembunyikanmu. Bulan mati malam ini…

Tiba-tiba, kulihat kabut berputar-putar di kamarku, seperti badai. Seperti musim dingin yang deras menelusup ke jantungku, melalui lubang memerah, melelehkan darah, di dada kiriku. Merahnya mulai kental, membeku sebab dingin yang tiba-tiba. Begitu pula yang terjadi pada lelehan di ujung lekuk keris berjumlah tigabelas itu. Jumlah lekukan, yang menurut buku tua itu mampu menghapus semua kesialan-kesialan.

Kabut masih berputar. Kini yang mulai membeku bukan hanya apa yang meleleh dari dada kiriku. Tapi tubuhku, perlahan kaku. Bahkan untuk sekadar menjentikkan jari pun aku tak mampu. Hanya, mataku tetap menyalang tak bisa kukedipkan.

Di mataku, langit-langit kamar yang bertabir samar-samar kabut, menjelma sebuah layar besar. Peristiwa-peristiwa antara sadar dan tak sadar, dengan sosok-sosok yang tak pernah kukenal di dalamnya.

Sampai pada akhirnya, dalam peristiwa-peristiwa (yang lebih menyerupai mimpi) yang ditampakkan di langit-langit kamarku itu, kulihat dirimu. Mengerang lirih, sebab jerit yang tak lagi bersuara. Melelehkan air mata. Tepat di malam bulan mati, tiga bulan lalu.

Sebuah ritual di atas hamparan melati yang menakutkan. Sebab kau, menjemput kematianmu sendiri, setelah birahi-birahi tak selesai. Yang membuat ritual itu begitu menakutkan, kau memintaku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Setelah mengikat tubuhku di kursi tua, menutup mulutku dengan sobekan kerudung. Tak bisa bergerak. Lalu, mengganjal mataku dengan tusuk gigi agar tetap menyala. Menyaksikan takdirmu.

“Sakit-sakit telah pergi,” katamu.

Pada ritual malam ini kurasakan, seolah perih-perih yang kukenal, pergi, membiarkan aku, tebaran-tebaran melati di ranjang, dan sebilah keris, mencumbui kematian. Seperti katamu, kekasihku.

“Sakit-sakit telah pergi….”

Belum sempat selesai aku berkata-kata, ada yang datang, lembut, seolah menyadarkan semuanya: Tanah kosong di samping rumah dengan makammu yang dulu kugali sendiri, kabut dingin yang tiba-tiba, dan peristiwa-peristiwa kematian yang mencekam di langit-langit kamar. Keris di tanganku, gemetar. Gemetar!

“Ritual ini tak akan pernah selesai, kekasihku.”

Perlahan, tubuhku mulai bisa kugerakkan. Mataku bisa kukedipakan. Kabut-kabut pergi, bulan mati malam ini, menyisakan satu pertanyaan: Milik siapakah kematian? Milik hasrat, almanak tua, ataukah malah kita?



***

Fiksi Sehalaman 

Komentar

Unknown mengatakan…
apa kabar Asiq? :) aku beberapa kali mampir kesini, tp gak sempat ninggalin komen :D
Semua yg kamu tulis itu pecaahhh banget, hehe serasa hurufnya bernyawa. Thanks Asiq,, see you!
Unknown mengatakan…
Aku bingung, otakku gak nyampe :(
Unknown mengatakan…
Yang baca hatinya ikut carut marut :l
Unknown mengatakan…
bahasanya sungguh kelas pujangga... Menakjubkan, tapi dari cerita sama dengan Wildan diatas, otakku gak gadug rek.
Unknown mengatakan…
Woho keren! seru nih walaupun dibagian tengah agak keras dan absurd tapi endingnya dapet.
Lanjutkeun asiq :)
dian nafi mengatakan…
Nggilani
Tira Soekardi mengatakan…
nice, salam kenal
mia fajarani mengatakan…
Aih, sungguh menyayat hati. Rasanya ingin mengembalikannya lagi dalam pelukan hangat disetiap malam.
Dia yang penuh kasih dari tatapan dan tingkah laku, namun nyatanya dia pula yang membawa kesakitan pada raga tak bernyawa ini..

Bagus😢 aku bacanya jadi galau masa. Penghayatannya kereen
Son Agia mengatakan…
Gaya bahasanya puitis banget. Dari awal nyampe akhir baca, saya garuk-garuk kepala sekaligus takjub.

Btw, salam kenal ya.
Fara Dhilah R mengatakan…
Kenapa aku baca sampe selesai sih.... autogalau :3
Anonim mengatakan…
ceritanya gak nyambung. gak jelas.
Alvin Hikam mengatakan…
Aku baca ini bolak balik
gak bosen sama pemilihan kata nya
diksinya parah

Coretan Populer